LANGKAT - Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG) Nukila Evanty, melakukan kegiatan bersama-sama dengan organisasi perempuan Srikandi Lestari di Sumatera Utara dari tanggal 29-30 November 2023 di Pangkalan Susu , Langkat Sumatera Utara.
Maksud kegiatan yang dilakukan adalah untuk melakukan pelatihan agar perempuan -perempuan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) Batubara Pangkalan Susu lebih memahami tentang hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, memahami menggunakan mekanisme hukum dan mekanisme non hukum yang lebih menguatkan hak-hak perempuan sebagai korban dan pemulihan (remedy ) serta menciptakan ruang aman buat perempuan-perempuan di Pangkalan Susu ini. Begitu Nukila sampai di desa Pintu Air, Kampung tengah Pangkalan Susu disambut dengan cerita dan keluhan perempuan-perempuan yang umumnya bekerja sebagai buruh tani dan dengan sangat runtun menceritakan peristiwa, dampak dan tuntutan yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah.
Kesaksian Miftah yang tinggal disekitar PLTU batubara mengeluhkan limbah batubara yang dijual ke masyarakat yang tidak tahu menahu dampaknya. Anak-anak yang bermain disekitar limbah batubara itupun akhirnya mengalami penyakit-penyakit kulit, sebelum PLTU ada, menurut Miftah , usaha tambak berlimpah dan lancar tetapi setelah PLTU muncul di tahun 2017, tambak udang yang menjadi usaha keluarga pun merasakan dampaknya, udang mati dan usaha Miftah ditutup karena diduga hujan yang bersifat asam yang merusak tambak ikan dan udang .
Kesaksian Mak Ijah menyedihkan karena cucunya yang perempuan mengalami penyakit kulit berkepanjangan, kalau pengobatannya sudah selesai , menurut Mak Ijah akan timbul lagi penyakit kulitnya.Belum lagi nasib keluarganya yang meninggal dengan penyakit infeksi saluran pernafasan atau ISPA, dia menyebut dengan nama paru - paru hitam yang sebelumnya penyakit penyakit jenis infeksi pernafasan ini tidak pernah ada di desa ini .Belum lagi menantu laki-laki Mak Ijah yang dahulu bisa melaut dan tangkapan ikan berlimpah serta menghidupi keluarganya , namun semenjak tahun 2017 terjadi perubahan drastis yaitu kesulitan dengan tangkapan ikan dan akhirnya sang menantu beralih menjadi kuli bangunan yang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri harus pontang- panting.
Kesaksian Mayan sebagai penderita penyakit tiroid sangat menyedihkan.Dia telah menderita penyakit tersebut sejak tahun 2018 artinya lima 5 tahun lalu. Dia merasakan sakit yang mendalam dan harus bolak balik ke rumah sakit dan tiroid di lehernya pun tak sembuh -sembuh.
Kesaksian Ifat , walaupun masih bisa bertahan dengan hasil pertanian yaitu dari sawahnya, dia mengeluhkan tentang tambak ikan dan udangnya yang berhenti karena tidak menghasilkan sejak dua 2 tahun lalu dikarenakan hujan asam yang mengguyur tambak miliknya. Ifat harus membanting tulang karena anaknya masih bersekolah dan anaknya yang satu lagi harus mengadu nasib keluar dari Pangkalan susu, dengan keterbatasan lapangan pekerjaan serta mengharuskan anaknya bekerja sebagai pekerja migran selama 2 tahun dan saat ini sedang bekerja di Dumai.
Lain lagi kesaksian Eti yang menjadi ibu rumah tangga. Dia menyampaikan keluhan suaminya. Sebelum kehadiran PLTU batubara mendapatkan ikan berlimpah namun sulit mendapatkan ikan serya penghasilan berkurang karena limbah PLTU batubara yang mencemari air laut.Padahal PLTU Batubara didirikan di Kecamatan Pangkalan Susu tetapi limbahnya bahkan sudah menjangkau kecamatan Brandan Barat . Yang paling kelihatan menurut Eti adalah ikan banyak mati bergelimpangan karena keracunan dan warna air laut berubah keruh.
Kesi menjelaskan penghasilan mereka sebagai nelayan sebelum tahun 2017 dalam perhari bisa mendapatkan 300 ribu atau 200 ribu, dengan 25 kg tangkapan ikan perhari, dengan jenis jenis ikan seperti ikan kerapu dan Sembilang.Tetapi semenjak datangnya PLTU batubara , limbah batubara diduga dibuang ke laut dan telah menyebabkan air laut tercemar , kemudian penghasilan mereka menjadi berkurang 70 ribu perhari. Akhirnya Kesi dan suami pun beralih menjadi petani tambak ikan dan udang.
Dugaan hujan asam karena batubara pun menyebabkan penghasilan dari hasil tambak menjadi tak menentu.Kesi dan suami juga mengeluhkan limbah batubara bahkan ditempatkan disekitar SD (Sekolah Dasar) , bayangkan katanya , anak- anak SD bermain disana.Pada saat musim kemarau partikel halus batubara menyebar kemana- mana karena terbawa angin bahkan terhirup setiap saat.Pas musim.penghujanpun menyebabkan hujan asam yang membasahi sawah dan tanah pertanian serta tambak ikan dan udang.
Beberapa perempuan juga mengalami intimidasi atau ancaman, dibuntuti orang tak dikenal serta upaya kekerasan lainnya dalam menyuarakan dampak -dampak PLTU batubara tersebut.
Ketua IMA ,Nukila Evanty merangkum tuntutan perempuan- perempuan tersebut sebagai berikut :
- Meminta pemerintah pusat maupun daerah, kementrian seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta komisi komisi negara lainnya serta Ombudsman untuk segera mengunjungi mereka sebagai masyarakat terdampak disekitar PLTU batubara Pangkalan Susu agar bisa mendengar , mengamati dan merasakan apa saja yang dialami oleh masyarakat terutama penderitaan perwakilan perempuan- perempuan tersebut.Pengaduan mereka selama 5 tahun diabaikan selama ini dan tidak pernah didengar .
- Meminta janji pemerintah yang sedang sibuk dalam gelaran United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang diselenggarakan pada 30 November - 12 Desember 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab dan menagih janji hasil konferensi tersebut dan hasil COP sebelumnya yaitu energi bersih dan menghapus bahan bakar fosil
- Segera memulihkan dampak lingkungan, sosial termasuk kesehatan dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat sekitar PLTU batubara Pangkalan susu terutama bagi anak-anak perempuan hamil , orang tua yang rentan terhadap partikel batubara di udara dan limbah batubara di laut . Pemulihan terhadap kesehatan mereka, sumber ekonomi dari pertanian , perikanan dan peternakan, nasib dan masa depan anak-anak di Pangkalan Susu.
Menurut Nukila Evanty yang berkutat lama di advokasi ruang aman bagi perempuan dan keadilan iklim dan lingkungan menyebutkan bahwa pelaku usaha , pebisnis seharusnya mengingat kembali apa yang disebut etika hak asasi manusia dalam berbisnis, mereka paham kan baik atau buruk atas tindakan mereka , keliru atau tidak , kalau ternya keliru apa kewajiban moral mereka untuk memperbaiki atau memulihkan situasi di sekitar PLTU batubara Pangkalan Susu.
Ada standar sebenarnya yang diatur dalam Undang -Undang (UU) kita dan prinsip -prinsip dalam.panduan perusahaan dalam melakukan bisnis sekaligus menghormati HAM.Menurut Nukila ada AMDAL atau analisis mengenai dampak terhadap lingkungan yang harus dipatuhi serta apa saja dampak secara sosial termasuk kesehatan, dampak ekonomi dan kewajiban moral untuk memulihkan seperti semula .Dahulu masyarakat kan baik-baik saja, dengan datangnya bisnis ini, harus nya dievaluasi dampaknya mulai dari awal PLTU berdiri, sedang beroperasi misalnya agar penanganan limbah industri yang lebih baik dan setelah selesai beroperasi.
Lagipula pemerintah harus proaktif ya karena tanggung jawab mengawasi dan intervensi berada ditangan pemerintah pusat maupun daerah. Pelaku usaha kan sudah diuntungkan kan dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP PPLH) yang kebijakan tersebut menyebabkan kebingungan dan tidak sensitif terhadap nasib masyarakat yang marjinal .PP tersebut mengatur bahwa limbah batu bara hasil pembakaran PLTU dikeluarkan atau dikecualikan dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan jenis limbah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA . Sedangkan limbah fly ash dan bottom ash dari kategori B3 tersebutlah yang dapat mencemari laut, perairan termasuk lahan pertanian yang menjadi pusat kehidupan masyarakat di sekitar Pangkalan Susu.
Harapan seutuhnya kepada pemerintah agar punya sensitivitas untuk melakukan intervensi dan perempuan-perempuan di sekitar Pangkalan Susu sudah menunggu begitu sabarnya kunjungan pemerintah agar bisa merasakan apa yang mereka alami.
(ALFI)