Disahkannya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Larangan Penggusuran Rumah Penduduk Tanpa Penyediaan Rumah Pengganti menjadi Ranperda inisiatif DPRD Medan yang akan dimasukan dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2019, masih menjadi polemik di kalangan anggota DPRD Medan.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Medan, H.Salman Alfarisi Lc, MA menilai, pada prinsipnya secara pribadi dirinya setuju jika penggusuran tidak dilakukan tanpa menyediakan rumah pengganti. Hanya saja, kewajiban mengganti itu harus dibebankan kepada pemilik lahan.
“Saya setuju jika penggusuran tidak dilakukan tanpa menyediakan rumah pengganti. Hanya saja jangan menjadi beban APBD,” jelas Salman kepada wartawan di Medan, Selasa (15/1/2019).
Salman menerangkan, semisal kasus penggusuran yang dilakukan PT.Kereta Api Indonesia (KAI), tidak mungkin penyediaan hunian akibat penggusuran itu menjadi beban APBD Kota Medan, karena selama ini penguasaan lahan PT.KAI oleh warga lebih dikarenakan adanya pembiaran.
“Jadi tidak mungkin beban penyedian rumah pengganti akibat penggusuran itu menjadi beban APBD Medan,” jelas Salman.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengungkapkan, jika nanti Perda ini terbentuk dan diimplementasikan di masyarakat, sudah tentu PT.KAI dalam setiap penggusuran harus menyediakan rumah pengganti terlebih dahulu. “Pertanyaan kita, apakah PT.KAI mau tunduk dengan Perda, sementara dalam soal kewenangan mereka berpedoman terhadap aturan di pusat,” ujarnya.
Dalam persoalan penyediaan rumah pengganti ini, politisi PKS ini menekankan agar beban itu menjadi tanggungjawab pemilik lahan. “Mereka, para pemilik lahan harus bertanggungjawab menyediakan rumah pengganti sebelum penggusuran. Hal ini sebagai kompensasi atas kelalaian mereka dalam menjaga asetnya. Bukan malah dibebankan ke APBD,” sebutnya.
Salman menambahkan, dibebankannya kompensasi berupa penyediaan rumah pengganti kepada APBD, sangat rentan terjadinya manipulasi dan ‘kong kalikong’ antara pemilik lahan dengan oknum warga dan oknum aparat pemerintah. “Mereka bisa saja membiarkan oknum warga menguasai lahan mereka, kemudian sudah beberapa tahun mereka usir dan beban penyediaan rumah pengganti menjadi beban APBD,” katanya mengingatkan agar Ranperda tersebut perlu kajian mendalam.
Dia memaparkan, beda halnya dengan lahan milik pemerintah yang karena kelalaian pemerintah kemudian dimanfaatkan warga untuk tempat tinggal. Maka beban ini sudah barang tentu menjadi beban APBD.
“Meski begitu harus juga menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah abai dengan asetnya sehingga dimanfaatkan orang lain,” sebutnya.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Medan, H.Salman Alfarisi Lc, MA menilai, pada prinsipnya secara pribadi dirinya setuju jika penggusuran tidak dilakukan tanpa menyediakan rumah pengganti. Hanya saja, kewajiban mengganti itu harus dibebankan kepada pemilik lahan.
“Saya setuju jika penggusuran tidak dilakukan tanpa menyediakan rumah pengganti. Hanya saja jangan menjadi beban APBD,” jelas Salman kepada wartawan di Medan, Selasa (15/1/2019).
Salman menerangkan, semisal kasus penggusuran yang dilakukan PT.Kereta Api Indonesia (KAI), tidak mungkin penyediaan hunian akibat penggusuran itu menjadi beban APBD Kota Medan, karena selama ini penguasaan lahan PT.KAI oleh warga lebih dikarenakan adanya pembiaran.
“Jadi tidak mungkin beban penyedian rumah pengganti akibat penggusuran itu menjadi beban APBD Medan,” jelas Salman.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengungkapkan, jika nanti Perda ini terbentuk dan diimplementasikan di masyarakat, sudah tentu PT.KAI dalam setiap penggusuran harus menyediakan rumah pengganti terlebih dahulu. “Pertanyaan kita, apakah PT.KAI mau tunduk dengan Perda, sementara dalam soal kewenangan mereka berpedoman terhadap aturan di pusat,” ujarnya.
Dalam persoalan penyediaan rumah pengganti ini, politisi PKS ini menekankan agar beban itu menjadi tanggungjawab pemilik lahan. “Mereka, para pemilik lahan harus bertanggungjawab menyediakan rumah pengganti sebelum penggusuran. Hal ini sebagai kompensasi atas kelalaian mereka dalam menjaga asetnya. Bukan malah dibebankan ke APBD,” sebutnya.
Salman menambahkan, dibebankannya kompensasi berupa penyediaan rumah pengganti kepada APBD, sangat rentan terjadinya manipulasi dan ‘kong kalikong’ antara pemilik lahan dengan oknum warga dan oknum aparat pemerintah. “Mereka bisa saja membiarkan oknum warga menguasai lahan mereka, kemudian sudah beberapa tahun mereka usir dan beban penyediaan rumah pengganti menjadi beban APBD,” katanya mengingatkan agar Ranperda tersebut perlu kajian mendalam.
Dia memaparkan, beda halnya dengan lahan milik pemerintah yang karena kelalaian pemerintah kemudian dimanfaatkan warga untuk tempat tinggal. Maka beban ini sudah barang tentu menjadi beban APBD.
“Meski begitu harus juga menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah abai dengan asetnya sehingga dimanfaatkan orang lain,” sebutnya.